Tampilkan postingan dengan label Hukum - Fatwa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum - Fatwa. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Desember 2016

Kecil-Kecil Sudah Naik Haji Dalam Pandangan Islam





Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Soal:

Apakah anak kecil yang belum baligh bila naik haji sudah dianggap menunaikan haji wajib yang merupakan rukun Islam?

Jawab:

Anak kecil boleh naik haji. Ketika ia sudah paham tentang ibadah haji lalu ia menunaikan haji, itu menjadi ibadah nafilah (sunnah) baginya. Dan ia mendapatkan pahala dari ibadah hajinya. Namun tidak membuatnya dianggap sudah menunaikan haji wajib yang merupakan rukun Islam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أيما صبي حج ثم بلغ الحنث فعليه أن يحج حجة أخرى

“anak kecil manapun yang berhaji kemudian setelah baru mencapai baligh, maka ia wajib untuk berhaji lagi” (HR. Al Baihaqi no. 9865).


http://files.buktidansaksi.com/haji.jpg

Dan seorang shahabiyah pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ketika itu shahabiyah tersebut bersama seorang anak kecil, ia bertanya: “apakah anak ini hajinya sah?“. Nabi menjawab:

نعم ولك أجر

“Iya, dan engkau juga mendapat pahala” (HR. Muslim no. 1336).

Dan para sahabat juga berkata:

كنا نلبي عن الصبيان ونرمي عنهم

“Dahulu kami men-talbiyahkan anak-anak dan melempar jumrah untuk mereka“.

***

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/fatawa/662

Penerjemah: Yulian Purnama




Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !





Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Soal:

Apakah anak kecil yang belum baligh bila naik haji sudah dianggap menunaikan haji wajib yang merupakan rukun Islam?

Jawab:

Anak kecil boleh naik haji. Ketika ia sudah paham tentang ibadah haji lalu ia menunaikan haji, itu menjadi ibadah nafilah (sunnah) baginya. Dan ia mendapatkan pahala dari ibadah hajinya. Namun tidak membuatnya dianggap sudah menunaikan haji wajib yang merupakan rukun Islam. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أيما صبي حج ثم بلغ الحنث فعليه أن يحج حجة أخرى

“anak kecil manapun yang berhaji kemudian setelah baru mencapai baligh, maka ia wajib untuk berhaji lagi” (HR. Al Baihaqi no. 9865).


http://files.buktidansaksi.com/haji.jpg

Dan seorang shahabiyah pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ketika itu shahabiyah tersebut bersama seorang anak kecil, ia bertanya: “apakah anak ini hajinya sah?“. Nabi menjawab:

نعم ولك أجر

“Iya, dan engkau juga mendapat pahala” (HR. Muslim no. 1336).

Dan para sahabat juga berkata:

كنا نلبي عن الصبيان ونرمي عنهم

“Dahulu kami men-talbiyahkan anak-anak dan melempar jumrah untuk mereka“.

***

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/fatawa/662

Penerjemah: Yulian Purnama




Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

Bolehkah Menunda Shalat Karena Sibuknya Pekerjaan?




Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal:

Apa hukum menunda shalat karena pekerjaan?

Jawab:

Jika penundaan shalat tersebut masih dalam rentang awal hingga akhir waktu, dan shalat masih dikerjakan pada waktunya, maka tidak mengapa. Karena menyegerakan shalat di awal waktu adalah perkara afdhaliyah (hal yang utama), tidak sampai wajib. Ini jika tidak ada shalat jama’ah di masjid. Jika ada shalat jama’ah di masjid, maka wajib menghadiri shalat jama’ah. Kecuali bila ia memiliki udzur syar’i untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.

Jika penundaan shalat tersebut sampai keluar dari waktunya, maka ini tidak diperbolehkan. Kecuali jika seseorang itu lupa atau tenggelam dalam kesibukannya sehingga terlewat dari shalat, dalam hal ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها

“barangsiapa yang tertidur hingga ia melewatkan shalat, atau terlupa, maka hendaknya ia shalat ketika ia ingat”

Maka untuk kasus demikian, ketika ia ingat, segeralah ia kerjakan shalat, dan ini tidak mengapa.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEVisBTS-ui61k-Y2ao0yrh4_XxIXxHa04Ln9yy2VBSMZQQlH9VFYXj8CnXkb8UBtvk9ogKiRxVq8701ufBXLDEDPJkyGJeuUA7Y4CjJwaHy10QF2WuTRZxbHh5rSJABF5mWxitCxfXa0/s640/shalat1.jpg

Namun jika kasusnya, ia sebenarnya ingat waktu shalat, namun karena alasan sibuk dengan pekerjaan lalu ia tunda shalatnya (hingga keluar dari waktunya) maka ini haram dan tidak boleh. Andaikan ia tetap mengerjakan shalat setelah habis waktunya, shalatnya tetap tidak diterima. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“barangsiapa mengamalkan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa orang yang sengaja menunda shalat sehingga keluar dari waktunya tanpa udzur syar’i maka ia tidak bisa mengganti shalat tersebut. Karena sudah keluar dari waktu yang diperintahkan oleh syariat untuk mengerjakannya tanpa udzur, sehingga ia menjadi amalan yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Wallahul muwaffiq.

***



Sumber: http://islamancient.com/newsite/play.php?catsmktba=10316

Penerjemah: Yulian Purnama



Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !




Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal:

Apa hukum menunda shalat karena pekerjaan?

Jawab:

Jika penundaan shalat tersebut masih dalam rentang awal hingga akhir waktu, dan shalat masih dikerjakan pada waktunya, maka tidak mengapa. Karena menyegerakan shalat di awal waktu adalah perkara afdhaliyah (hal yang utama), tidak sampai wajib. Ini jika tidak ada shalat jama’ah di masjid. Jika ada shalat jama’ah di masjid, maka wajib menghadiri shalat jama’ah. Kecuali bila ia memiliki udzur syar’i untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.

Jika penundaan shalat tersebut sampai keluar dari waktunya, maka ini tidak diperbolehkan. Kecuali jika seseorang itu lupa atau tenggelam dalam kesibukannya sehingga terlewat dari shalat, dalam hal ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها

“barangsiapa yang tertidur hingga ia melewatkan shalat, atau terlupa, maka hendaknya ia shalat ketika ia ingat”

Maka untuk kasus demikian, ketika ia ingat, segeralah ia kerjakan shalat, dan ini tidak mengapa.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEVisBTS-ui61k-Y2ao0yrh4_XxIXxHa04Ln9yy2VBSMZQQlH9VFYXj8CnXkb8UBtvk9ogKiRxVq8701ufBXLDEDPJkyGJeuUA7Y4CjJwaHy10QF2WuTRZxbHh5rSJABF5mWxitCxfXa0/s640/shalat1.jpg

Namun jika kasusnya, ia sebenarnya ingat waktu shalat, namun karena alasan sibuk dengan pekerjaan lalu ia tunda shalatnya (hingga keluar dari waktunya) maka ini haram dan tidak boleh. Andaikan ia tetap mengerjakan shalat setelah habis waktunya, shalatnya tetap tidak diterima. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“barangsiapa mengamalkan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa orang yang sengaja menunda shalat sehingga keluar dari waktunya tanpa udzur syar’i maka ia tidak bisa mengganti shalat tersebut. Karena sudah keluar dari waktu yang diperintahkan oleh syariat untuk mengerjakannya tanpa udzur, sehingga ia menjadi amalan yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Wallahul muwaffiq.

***



Sumber: http://islamancient.com/newsite/play.php?catsmktba=10316

Penerjemah: Yulian Purnama



Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

Rabu, 21 Desember 2016

"Fatwa" NU Jawa Tengah: Pemerintah Haram Beri Izin Usaha Ritel Modern


MAGELANG - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah menghimbau kepada pemerintah di tingkat pusat maupun daerah supaya tidak mengizinkan pendirian toko modern yang berdampak negatif terhadap eksistensi warung tradisional maupun toko kelontong.

Himbauan itu disampaikan melalui forum bahtsul masail (musyawarah hukum Islam, red) yang diikuti semua Pengurus Cabang NU dan perwakilan pondok pesantren se-Jawa Tengah di Pondok Pesantren Al-Asnawi  Kabupaten  Magelang, Senin (5/12/16).

Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah KH Ubaidulloh Shodaqoh menyampaikan, bahwa dampak ekonomi yang ditimbulkan dari banyaknya pendirian toko-toko modern yaitu tutupnya toko-toko tradisional, yang berujung pada kesenjangan ekonomi yang semakin jauh.

“Menjamurnya toko-toko modern itu dapat menimbulkan dlarar (bahaya, red). Dlarar di sini tidak boleh dilihat dalam jangka pendek yang terkait dengan perorangan, tapi harus juga dilihat jangka menengah dan panjang. Keberadaan pasar-pasar modern dalam jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya monopoli ekonomi yang hanya dikuasai kaum borjuis yang berjumlah sangat sedikit,” paparnya.

Menurut Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon Kota Semarang itu, menjamurnya toko-toko modern yang menggunakan konsep waralaba atau franchise merupakan petanda berkembangnya kapitalisme global di Indonesia yang berdampak negatif terhadap ekonomi rakyat.

“Karena itu, NU Jawa tengah terpanggil untuk andil dalam mengadvokasi kepentingan rakyat dalam hal kemandirian ekonomi berbasis maslahah, sebagaimana yang telah diamanatkan Pancasila dan UUD 45,” jelasnya.

Haram Memberi Izin

Dalam forum bahtsul masail yang dipimpin oleh Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Tengah KH Hudallah Ridwan dan KH Busyro itu, ditetapkan kesepakatan fatwa bahwa pemerintah haram memberikan izin usaha ritel modern yang diduga kuat akan berdampak negatif terhadap pedagang tradisional atau toko kelontong.

Selain itu, forum bahtsul masail NU Jawa Tengah juga meminta kepada pemerintah supaya meninjau ulang dan mencabut izin usaha yang sudah dikeluarkan apabila mengakibatkan kerugian terhadap usaha kecil dan menengah.

“Dalam hukum Islam dinyatakan bahwa pemerintah dalam memberikan keputusan harus berpijak kepada kepentingan rakyat, tasharruful imam manuthun bil mashlahatir ra’iyyah. Karena itu jika pemberian izin berdampak pada kerugian yang dialami oleh pedagang-pedagang kecil maka izin tidak boleh dikeluarkan. Para pedang kecil ini menempati jumlah mayoritas,” kata KH Hudallah Ridwan.

Keputusan tersebut juga berdasarkan pada kaidah hukum Islam yang menyatakan bahwa kerusakan harus dihilangkan (adldlarar yuzalu). “Dalam hal ini apabila izin usaha sudah terlanjur dikeluarkan pemerintah, maka pemerintah harus meninjau ulang. Apabila jelas berdampak pada kerugian para pedagang kecil, maka izin itu harus dicabut, adldlarar yuzalu (bahaya harus dihilangkan),” tambahnya. [AR/002]

Sumber: https://nujateng.com/2016/12/nu-jawa-tengah-pemerintah-haram-beri-izin-usaha-ritel-modern/

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !


MAGELANG - Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah menghimbau kepada pemerintah di tingkat pusat maupun daerah supaya tidak mengizinkan pendirian toko modern yang berdampak negatif terhadap eksistensi warung tradisional maupun toko kelontong.

Himbauan itu disampaikan melalui forum bahtsul masail (musyawarah hukum Islam, red) yang diikuti semua Pengurus Cabang NU dan perwakilan pondok pesantren se-Jawa Tengah di Pondok Pesantren Al-Asnawi  Kabupaten  Magelang, Senin (5/12/16).

Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah KH Ubaidulloh Shodaqoh menyampaikan, bahwa dampak ekonomi yang ditimbulkan dari banyaknya pendirian toko-toko modern yaitu tutupnya toko-toko tradisional, yang berujung pada kesenjangan ekonomi yang semakin jauh.

“Menjamurnya toko-toko modern itu dapat menimbulkan dlarar (bahaya, red). Dlarar di sini tidak boleh dilihat dalam jangka pendek yang terkait dengan perorangan, tapi harus juga dilihat jangka menengah dan panjang. Keberadaan pasar-pasar modern dalam jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya monopoli ekonomi yang hanya dikuasai kaum borjuis yang berjumlah sangat sedikit,” paparnya.

Menurut Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Itqon Kota Semarang itu, menjamurnya toko-toko modern yang menggunakan konsep waralaba atau franchise merupakan petanda berkembangnya kapitalisme global di Indonesia yang berdampak negatif terhadap ekonomi rakyat.

“Karena itu, NU Jawa tengah terpanggil untuk andil dalam mengadvokasi kepentingan rakyat dalam hal kemandirian ekonomi berbasis maslahah, sebagaimana yang telah diamanatkan Pancasila dan UUD 45,” jelasnya.

Haram Memberi Izin

Dalam forum bahtsul masail yang dipimpin oleh Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Tengah KH Hudallah Ridwan dan KH Busyro itu, ditetapkan kesepakatan fatwa bahwa pemerintah haram memberikan izin usaha ritel modern yang diduga kuat akan berdampak negatif terhadap pedagang tradisional atau toko kelontong.

Selain itu, forum bahtsul masail NU Jawa Tengah juga meminta kepada pemerintah supaya meninjau ulang dan mencabut izin usaha yang sudah dikeluarkan apabila mengakibatkan kerugian terhadap usaha kecil dan menengah.

“Dalam hukum Islam dinyatakan bahwa pemerintah dalam memberikan keputusan harus berpijak kepada kepentingan rakyat, tasharruful imam manuthun bil mashlahatir ra’iyyah. Karena itu jika pemberian izin berdampak pada kerugian yang dialami oleh pedagang-pedagang kecil maka izin tidak boleh dikeluarkan. Para pedang kecil ini menempati jumlah mayoritas,” kata KH Hudallah Ridwan.

Keputusan tersebut juga berdasarkan pada kaidah hukum Islam yang menyatakan bahwa kerusakan harus dihilangkan (adldlarar yuzalu). “Dalam hal ini apabila izin usaha sudah terlanjur dikeluarkan pemerintah, maka pemerintah harus meninjau ulang. Apabila jelas berdampak pada kerugian para pedagang kecil, maka izin itu harus dicabut, adldlarar yuzalu (bahaya harus dihilangkan),” tambahnya. [AR/002]

Sumber: https://nujateng.com/2016/12/nu-jawa-tengah-pemerintah-haram-beri-izin-usaha-ritel-modern/

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

Selasa, 20 Desember 2016

Hukum Suami Mengungkit Semua Nafkahnya Kepada Istri






Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Ustadz.

Saya mendapat titipan pertanyaan dari teman. Dia menanyakan tentang boleh tidaknya seorang suami mengungkit-ungkit atau menghitung-hitung apa yang telah dia nafkahkan atau berikan kepada anak dan istrinya. Mohon bantuan dari ustadz untuk memberikan referensi semacam tulisan ilmiah lengkap dengan dalilnya atau dalil yang mendukung dalam Alquran dan hadis, karena teman saya meminta demikian, nantinya akan saya sampaikan kepada teman saya yang bertanya tersebut.

Jazakallah.

Dari: Fajar

Jawaban:

Wa’alaikumussalam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, nafkah keluarga adalah kewajiban suami diberikan kepada istri dan anaknya. Allah berfirman,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Kewajiban bagi para kepala keluarga untuk memberikan rizki (nafkah) kepada para istrinya dan memberi pakaian mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Ibnu Katsir menafsirkan kalimat : “dengan cara yang baik”

أي: بما جرت به عادة أمثالهن في بلدهنّ من غير إسراف ولا إقتار، بحسب قدرته في يساره وتوسطه وإقتاره

“Maksudnya besar nafkah sesuai dengan kadar yang berlaku di masyarakat untuk wanita yang setara dengannya, tanpa berlebihan dan tidak kurang dan sesuai kemampuan suami, ketika kaya, tidak kaya, atau kekurangan.” (Tafsir Ibn Katsir, 1:634)



Kedua, Allah melarang semua hamba-Nya untuk mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah dia berikan kepada orang lain. Bahkan Allah menjadikan sikap ini sebagai pembatal pahala atas kebaikan yang telah dia berikan. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى

Wahai orang yang beriman, janganlah kalian membatalkan sedekah kalian dengan al-mannu dan Al-Adza.” (QS. Al-Baqarah: 264)

Al-Mannu : mengungkit-ungkit,

Al-Adza : menyakiti perasaan yang menerima

Ayat ini berbicara tentang sedekah yang sifatnya anjuran, dan tidak wajib. Allah melarang manusia untuk mengungkit-ungkit sedekah yang telah dia berikan. Tentu saja, ancamannya akan lebih keras lagi jika yang diungkit-ungkit adalah pemberian yang sifatnya wajib seperti zakat atau nafkah bagi keluarga. Karena harta yang wajib dia berikan kepada orang lain, sejatinya bukan harta dia. Zakat yang menjadi kewajiban seseorang, tidak lagi menjadi miliknya. Demikian pula nafkah yang dia berikan kepada keluarganya, bukan lagi harta miliknya, tapi milik keluarganya.

Lalu dengan alasan apa orang ini mengungkit-ungkit nafkah yang dia berikan kepada keluarganya?

Oleh karena itu, kepada suami yang memiliki perilaku semacam ini, wajib bertaubat kepada Allah. Memohon ampun atas kesalahan besar yang dia lakukan. Dan berusaha untuk tidak menyinggung sedikitpun nafkah yang menjadi kewajibannya.

Semoga Allah tidak menghapus amal baiknya.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !






Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Ustadz.

Saya mendapat titipan pertanyaan dari teman. Dia menanyakan tentang boleh tidaknya seorang suami mengungkit-ungkit atau menghitung-hitung apa yang telah dia nafkahkan atau berikan kepada anak dan istrinya. Mohon bantuan dari ustadz untuk memberikan referensi semacam tulisan ilmiah lengkap dengan dalilnya atau dalil yang mendukung dalam Alquran dan hadis, karena teman saya meminta demikian, nantinya akan saya sampaikan kepada teman saya yang bertanya tersebut.

Jazakallah.

Dari: Fajar

Jawaban:

Wa’alaikumussalam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pertama, nafkah keluarga adalah kewajiban suami diberikan kepada istri dan anaknya. Allah berfirman,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Kewajiban bagi para kepala keluarga untuk memberikan rizki (nafkah) kepada para istrinya dan memberi pakaian mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 233)

Ibnu Katsir menafsirkan kalimat : “dengan cara yang baik”

أي: بما جرت به عادة أمثالهن في بلدهنّ من غير إسراف ولا إقتار، بحسب قدرته في يساره وتوسطه وإقتاره

“Maksudnya besar nafkah sesuai dengan kadar yang berlaku di masyarakat untuk wanita yang setara dengannya, tanpa berlebihan dan tidak kurang dan sesuai kemampuan suami, ketika kaya, tidak kaya, atau kekurangan.” (Tafsir Ibn Katsir, 1:634)



Kedua, Allah melarang semua hamba-Nya untuk mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah dia berikan kepada orang lain. Bahkan Allah menjadikan sikap ini sebagai pembatal pahala atas kebaikan yang telah dia berikan. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى

Wahai orang yang beriman, janganlah kalian membatalkan sedekah kalian dengan al-mannu dan Al-Adza.” (QS. Al-Baqarah: 264)

Al-Mannu : mengungkit-ungkit,

Al-Adza : menyakiti perasaan yang menerima

Ayat ini berbicara tentang sedekah yang sifatnya anjuran, dan tidak wajib. Allah melarang manusia untuk mengungkit-ungkit sedekah yang telah dia berikan. Tentu saja, ancamannya akan lebih keras lagi jika yang diungkit-ungkit adalah pemberian yang sifatnya wajib seperti zakat atau nafkah bagi keluarga. Karena harta yang wajib dia berikan kepada orang lain, sejatinya bukan harta dia. Zakat yang menjadi kewajiban seseorang, tidak lagi menjadi miliknya. Demikian pula nafkah yang dia berikan kepada keluarganya, bukan lagi harta miliknya, tapi milik keluarganya.

Lalu dengan alasan apa orang ini mengungkit-ungkit nafkah yang dia berikan kepada keluarganya?

Oleh karena itu, kepada suami yang memiliki perilaku semacam ini, wajib bertaubat kepada Allah. Memohon ampun atas kesalahan besar yang dia lakukan. Dan berusaha untuk tidak menyinggung sedikitpun nafkah yang menjadi kewajibannya.

Semoga Allah tidak menghapus amal baiknya.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

Senin, 19 Desember 2016

Bagaimana Cara Berbuat Baik kepada NonMuslim?

TANYA: Rasulullah–shallallahu ‘alaihi wa sallam-telah melarang untuk memulai menyapa orang-orang kafir dengan salam. Anda juga mengetahui bahwa ada banyak perusahaan-perusahaan di negara-negara Islam yang di dalamnya terdapat orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi direkturnya.
Maka bagaimana cara kita berinteraksi dengan mereka. Dan bagaimana juga caranya menggabungkan hadits di atas dengan penyebaran agama Islam melalui para pedagang, kebaikan akhlak mereka dan muamalah mereka.
Kami mohon penjelasan anda bagaimana cara berinteraksi dengan mereka, kapan interaksi kita dengan mereka terjalin dengan baik dan kapan kita tidak berinteraksi dengan mereka. Apakah interaksi kita dengan mereka bergantung dengan cara interaksi mereka kepada kita?

JAWAB: Alhamdulillah, disitat dari Islamqa, termasuk bentuk keindahan agama kita yang mulia, ia telah memberikan kebaikan bagi alam semesta, menurunkan rahmat kepada seluruh makhluk. Ia mengajak agar kita menjadi duta kesejahteraan dan keadilan untuk semua kemanusiaan; kecuali mereka yang telah menodai tangan-tangan mereka dengan darah umat Islam dan menindas orang-orang lemah.
Allah –Ta’ala- berfirman:
( لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ) الممتحنة/8 .
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah: 8)
Dari penjelasan di atas, maka memungkinkan bagi seorang pegawai muslim berinteraksi dengan direkturnya atau temannya yang non muslim dengan baik kepada kepada mereka.
Pertama:
Menyelesaikan tugas dan pekerjaan yang diamanahkan kepadanya dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, sehingga kesan buruk yang difahami banyak orang bahwa non muslim itu selalu unggul dalam pekerjaan menjadi pupus, juga agar umat Islam tidak identik dengan pekerjaan yang setengah-setengah dan meremehkannya. Hal ini sebagaimana yang tertera di dalam Al Qur’an dan Sunnah perintah untuk menjaga amanah, meskipun orang yang mempercayakannya berbeda agama, sebagaimana sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
( أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ ) رواه أبو داود (3534) ، وصححه الألباني في ” سنن صحيح أبي داود ” .
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakannya kepadamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu”. (HR. Abu Daud: 3534 dan dishahihkan oleh Albani dalam Sunan Shahih Abu Daud)
Termasuk perbuatan baik kepada mereka: “Menyapa mereka dengan semua ucapan yang mengandung kebaikan, seperti ucapan selamat pagi, selamat sore, menanyakan kabarnya, keluarga dan anak-anaknya, mendoakan agar mendapatkan petunjuk, kebahagiaan dan kebaikan, memuji sifat baik orang kafir tersebut, dan lain sebagainya yang serupa dengan hal itu dari semua sikap kesantunan.
Jangan pernah anda mengira bahwa larangan untuk memulai ucapan salam kepada mereka adalah haram juga mengucapkan selamat dengan bentuk lainnya; kata Salam adalah salah satu dari Nama Allah –Ta’ala- yang memiliki karakteristik khusus dalam agama yang menuntut hanya untuk memulai ucapan di antara kaum muslimin saja. Sedangkan kata selain Salam dari semua bentuk ucapan selamat, seperti: marhaban (selamat datang), semoga pagimu menyenangkan, ahlan wa sahlan (selamat datang) maka tidak bisa dianalogikan dengan kata: “Assalamu’alaikum”.
Disebutkan dalam Al Majmu’ karya Imam Nawawi (4/487):
“Agar mengatakan: “Hadakallah (semoga Allah memberimu hidayah), ‘An’amallahu shabahaka (semoga Allah menjadikan pagimu penuh dengan nikmat), ucapan ini tidak apa-apa jika memang dibutuhkan ucapan selamat kepada mereka untuk mencegah keburukannya dan atau semacamnya, maka hendaknya mengatakan: Semoga pagimu menjadi baik, menyenangkan, sehat dan lain sebagainya”.
Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah, edisi pertama (3/434):
“Tidak boleh memulai untuk mengucapkan salam kepada orang kafir, sebagaimana hadits yang hadits Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( لا تبدأوا اليهود والنصارى بالسلام ، فإذا لقيتم أحدهم في طريق فاضطروه إلى أضيقه ) رواه مسلم .
“Janganlah kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani !, maka jika kalian berpapasan dengan salah satu dari mereka di jalan, maka himpitlah ke tempat yang lebih sempit”. (HR. Muslim)
Dan di dalam hadits Anas –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( إذا سلم عليكم أهل الكتاب فقولوا وعليكم ) رواه البخاري ومسلم
“Jika ahli kitab memberikan salam kepada kalian, maka katakanlah: “Wa ‘alaikum” (Semoga kalian celaka)”. (HR. Bukhori dan Muslim)
Maka menjawab salam mereka sesuai dengan apa yang telah ditunjukkan oleh hadits, yaitu: “Wa ‘Alaikum” (Semoga kalian celaka).
Namun tidak apa-apa untuk memulai ucapan: Bagaimana kabarmu ?, selamat pagi, selamat sore, dan lain sebagainya jika hal itu memang dibutuhkan. Beberapa ulama telah menyatakan hal itu dengan jelas, di antaranya adalah Abu Abbas Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Sebagian ulama berkata: “Jika kamu berkata: “Selamat pagi, selamat datang wahai fulan, maka yang demikian itu bukan termasuk salam; karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( لا تبدءوهم بالسلام )
“Janganlah kalian memulai salam kepada mereka”.
Salam itu adalah do’a, berbeda dengan marhaban (selamat datang), Ahlan bi fulan (selamat datang), itu adalah bentuk ucapan bukan salam”. (Liqa Al Bab Al Maftuh)
Dengan ini berarti anda terlah mengerti bahwa tidak bertentangan antara larangan memulai mengucapkan salam kepada mereka dengan akhlak kaum muslimin yang telah menyebarkan Islam di muka bumi.
Termasuk di antara bentuk kebaikan dalam berinteraksi adalah bergabung dengan kebahagiaan dan kesedihan dalam masalah duniawi, adapun kebahagiaan keagamaan mereka yang tertuang pada hari-hari raya mereka, maka jauhilah. Adapun jika dalam yang lainnya maka tidak apa-apa ikut serta, mengunjungi mereka, menjalin hubungan untuk mengucapkan selamat atau belasungkawa, seperti; ketika meraih kesuksesan, baru kembali dari perjalanan, baru sembuh, atau karena meninggalnya kerabat atau teman dekatnya. Kerena jalinan hubungan semacam ini pasti akan mempunyai dampak yang akan terkesan di dalam hati, dengan perangai seperti itu akan tercipta sisi kemanusiaan yang positif pada agama kita yang mulia dan akan bermanfaat baginya untuk mengajaknya ke dalam Islam.



Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

TANYA: Rasulullah–shallallahu ‘alaihi wa sallam-telah melarang untuk memulai menyapa orang-orang kafir dengan salam. Anda juga mengetahui bahwa ada banyak perusahaan-perusahaan di negara-negara Islam yang di dalamnya terdapat orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi direkturnya.
Maka bagaimana cara kita berinteraksi dengan mereka. Dan bagaimana juga caranya menggabungkan hadits di atas dengan penyebaran agama Islam melalui para pedagang, kebaikan akhlak mereka dan muamalah mereka.
Kami mohon penjelasan anda bagaimana cara berinteraksi dengan mereka, kapan interaksi kita dengan mereka terjalin dengan baik dan kapan kita tidak berinteraksi dengan mereka. Apakah interaksi kita dengan mereka bergantung dengan cara interaksi mereka kepada kita?

JAWAB: Alhamdulillah, disitat dari Islamqa, termasuk bentuk keindahan agama kita yang mulia, ia telah memberikan kebaikan bagi alam semesta, menurunkan rahmat kepada seluruh makhluk. Ia mengajak agar kita menjadi duta kesejahteraan dan keadilan untuk semua kemanusiaan; kecuali mereka yang telah menodai tangan-tangan mereka dengan darah umat Islam dan menindas orang-orang lemah.
Allah –Ta’ala- berfirman:
( لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ) الممتحنة/8 .
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah: 8)
Dari penjelasan di atas, maka memungkinkan bagi seorang pegawai muslim berinteraksi dengan direkturnya atau temannya yang non muslim dengan baik kepada kepada mereka.
Pertama:
Menyelesaikan tugas dan pekerjaan yang diamanahkan kepadanya dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, sehingga kesan buruk yang difahami banyak orang bahwa non muslim itu selalu unggul dalam pekerjaan menjadi pupus, juga agar umat Islam tidak identik dengan pekerjaan yang setengah-setengah dan meremehkannya. Hal ini sebagaimana yang tertera di dalam Al Qur’an dan Sunnah perintah untuk menjaga amanah, meskipun orang yang mempercayakannya berbeda agama, sebagaimana sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
( أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ ) رواه أبو داود (3534) ، وصححه الألباني في ” سنن صحيح أبي داود ” .
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakannya kepadamu dan janganlah mengkhianati orang yang mengkhianatimu”. (HR. Abu Daud: 3534 dan dishahihkan oleh Albani dalam Sunan Shahih Abu Daud)
Termasuk perbuatan baik kepada mereka: “Menyapa mereka dengan semua ucapan yang mengandung kebaikan, seperti ucapan selamat pagi, selamat sore, menanyakan kabarnya, keluarga dan anak-anaknya, mendoakan agar mendapatkan petunjuk, kebahagiaan dan kebaikan, memuji sifat baik orang kafir tersebut, dan lain sebagainya yang serupa dengan hal itu dari semua sikap kesantunan.
Jangan pernah anda mengira bahwa larangan untuk memulai ucapan salam kepada mereka adalah haram juga mengucapkan selamat dengan bentuk lainnya; kata Salam adalah salah satu dari Nama Allah –Ta’ala- yang memiliki karakteristik khusus dalam agama yang menuntut hanya untuk memulai ucapan di antara kaum muslimin saja. Sedangkan kata selain Salam dari semua bentuk ucapan selamat, seperti: marhaban (selamat datang), semoga pagimu menyenangkan, ahlan wa sahlan (selamat datang) maka tidak bisa dianalogikan dengan kata: “Assalamu’alaikum”.
Disebutkan dalam Al Majmu’ karya Imam Nawawi (4/487):
“Agar mengatakan: “Hadakallah (semoga Allah memberimu hidayah), ‘An’amallahu shabahaka (semoga Allah menjadikan pagimu penuh dengan nikmat), ucapan ini tidak apa-apa jika memang dibutuhkan ucapan selamat kepada mereka untuk mencegah keburukannya dan atau semacamnya, maka hendaknya mengatakan: Semoga pagimu menjadi baik, menyenangkan, sehat dan lain sebagainya”.
Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah, edisi pertama (3/434):
“Tidak boleh memulai untuk mengucapkan salam kepada orang kafir, sebagaimana hadits yang hadits Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( لا تبدأوا اليهود والنصارى بالسلام ، فإذا لقيتم أحدهم في طريق فاضطروه إلى أضيقه ) رواه مسلم .
“Janganlah kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani !, maka jika kalian berpapasan dengan salah satu dari mereka di jalan, maka himpitlah ke tempat yang lebih sempit”. (HR. Muslim)
Dan di dalam hadits Anas –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( إذا سلم عليكم أهل الكتاب فقولوا وعليكم ) رواه البخاري ومسلم
“Jika ahli kitab memberikan salam kepada kalian, maka katakanlah: “Wa ‘alaikum” (Semoga kalian celaka)”. (HR. Bukhori dan Muslim)
Maka menjawab salam mereka sesuai dengan apa yang telah ditunjukkan oleh hadits, yaitu: “Wa ‘Alaikum” (Semoga kalian celaka).
Namun tidak apa-apa untuk memulai ucapan: Bagaimana kabarmu ?, selamat pagi, selamat sore, dan lain sebagainya jika hal itu memang dibutuhkan. Beberapa ulama telah menyatakan hal itu dengan jelas, di antaranya adalah Abu Abbas Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Sebagian ulama berkata: “Jika kamu berkata: “Selamat pagi, selamat datang wahai fulan, maka yang demikian itu bukan termasuk salam; karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( لا تبدءوهم بالسلام )
“Janganlah kalian memulai salam kepada mereka”.
Salam itu adalah do’a, berbeda dengan marhaban (selamat datang), Ahlan bi fulan (selamat datang), itu adalah bentuk ucapan bukan salam”. (Liqa Al Bab Al Maftuh)
Dengan ini berarti anda terlah mengerti bahwa tidak bertentangan antara larangan memulai mengucapkan salam kepada mereka dengan akhlak kaum muslimin yang telah menyebarkan Islam di muka bumi.
Termasuk di antara bentuk kebaikan dalam berinteraksi adalah bergabung dengan kebahagiaan dan kesedihan dalam masalah duniawi, adapun kebahagiaan keagamaan mereka yang tertuang pada hari-hari raya mereka, maka jauhilah. Adapun jika dalam yang lainnya maka tidak apa-apa ikut serta, mengunjungi mereka, menjalin hubungan untuk mengucapkan selamat atau belasungkawa, seperti; ketika meraih kesuksesan, baru kembali dari perjalanan, baru sembuh, atau karena meninggalnya kerabat atau teman dekatnya. Kerena jalinan hubungan semacam ini pasti akan mempunyai dampak yang akan terkesan di dalam hati, dengan perangai seperti itu akan tercipta sisi kemanusiaan yang positif pada agama kita yang mulia dan akan bermanfaat baginya untuk mengajaknya ke dalam Islam.



Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

Ucapkan Selamat Pada Perayaan Hari Agama Lain, Bagaimana Hukumnya?

TANYA: Ustadz, Apa hukum memberikan ucapan selamat kepada orang nonMuslim pada hari raya mereka?

JAWAB: Alhamdulillah, disitat dari Islamqa, memberi ucapan selamat pada hari raya Natal atau lainnya dari hari raya keagamaan mereka sepakat diharamkan. Hal itu dinukil oleh Ibnu Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkam Ahlu Dzimmah’, beliau mengatakan,






‘Adapun memberi ucapan selamat dengan syiar khusus untuk orang kafir, hal itu disepakati keharamannya. Seperti memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka dengan mengucapkan ‘Hari raya yang diberkahi untuk anda.’ Atau memberikan ucapan selamat dengan hari raya ini atau semisal itu. Hal ini, walaupun pelakunya selamat dari kekufuran, maka ia termasuk sesuatu yang diharmakan. Hal itu seperti kedudukannya dengan memberikan ucapan selamat dengan sujudnya kepada salib. Bahkan hal itu lebih besar dosanya disisi Allah dan lebih dimurkai dibandingkan memberi ucapan selamat untuk orang yang meminum khamr dan membunuh jiwa. Serta terjerumus dalam perbuatan asusila yang diharamkan dan semisalnya. Banyak di antara orang yang kurang penghargaan terhadap agama, terjerumus terhadap hal itu. tidak tahu kejelekan apa yang dilakukannya. Barangsiapa yang memberi ucapan selamat kepada seorang hamba yang melakukan kemaksiatan, bid’ah dan kekufuran, maka dia terancam mendapatkan kemurkaan Allah. selesai ucapan beliau rahimahullah.

Sesungguhnya memberi ucapan selamat kepada orang kafir terhadap hari raya agama mereka itu diharamkan sebagaiman  dinyatakan oleh Ibnu Qayim. Karena itu berarti mengakui dan ridha dengan syiar kekufuran mereka, meskipun dia sendiri tidak rela dengan kekafiran itu. Seorang muslim diharamkan ridha dengan syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat dengannya atau lainnya. Karena Allah Ta’ala tidak ridha akan hal itu sebagaimana dalam firman-Nya:

إن تكفروا فإن الله غني عنكم ولا يرضى لعباده الكفر وإن تشكروا يرضه لكم

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 7)

Dan Firman-Nya,



“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3)

Maka, memberikan ucapan selamat itu haram, baik mereka ikut serta dalam perayaan maupun tidak.

Kalau mereka memberikan ucapan selamat kepada kita dengan hari raya mereka, maka kita tidak memberikan jawaban akan hal itu, karena itu bukan hari raya kita. Dan karena itu hari raya yang Allah tidak rela denganya. Juga karena hal itu adalah perkara yang diada-adakan dalam agama mereka, atau disyariatkan akan tetapi dihapus dengan agama Islam yang Allah utus Muhammad sallallahu alaihi wa sallam kepada seluruh makhluk.

Allah berfirman,

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”  (QS. Ali Imran: 85)

Maka jawaban seorang muslim pada kesempatan semacam ini adalah haram. Hal ini bahkan lebih besar (dosanya) dibandingkan dengan mengucapkan selamat terhadap mereka di hari raya, karena hal itu termasuk ikut serta dengan mereka.

Begitu juga seorang muslim diharamkan menyerupai orang kafir dengan mengadakan perayaan seperti ini, atau saling memberi hadiah, membagikan kue, memasak makanan, libur kerja atau semisal itu. berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Iqtidha As-Syiratal Mustaqim Mukholafatul Ahlil Jahim’ mengtakan,

“Menyerupai mereka pada sebagian hari rayanya, melahirkan kegembiraan dalam hati terhadap kebatilan pada mereka. Kadang mereka memberi makanan untuk memanfaatkan  kesempatan dan  merendahkan orang-orang lemah.”

Barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia berdosa. Baik dia lakukan sekedar basa basi, pertemanan, malu sebab-sebab lain. Karena hal itu termasuk mudahanah (bermuka dua) dalam agama Allah, dan dapat menguatkan jiwa orang kafir serta rasa bangga kepada agama mereka.

Hanya Allah yang berkuasa memuliakan umat Islam terhadap agamanya, memberi kekuatan  untuk dapat konsisten, serta menolong kaum muslimin menghadapi musuh-musuhnya. Sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa. []

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !

TANYA: Ustadz, Apa hukum memberikan ucapan selamat kepada orang nonMuslim pada hari raya mereka?

JAWAB: Alhamdulillah, disitat dari Islamqa, memberi ucapan selamat pada hari raya Natal atau lainnya dari hari raya keagamaan mereka sepakat diharamkan. Hal itu dinukil oleh Ibnu Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Ahkam Ahlu Dzimmah’, beliau mengatakan,






‘Adapun memberi ucapan selamat dengan syiar khusus untuk orang kafir, hal itu disepakati keharamannya. Seperti memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka dengan mengucapkan ‘Hari raya yang diberkahi untuk anda.’ Atau memberikan ucapan selamat dengan hari raya ini atau semisal itu. Hal ini, walaupun pelakunya selamat dari kekufuran, maka ia termasuk sesuatu yang diharmakan. Hal itu seperti kedudukannya dengan memberikan ucapan selamat dengan sujudnya kepada salib. Bahkan hal itu lebih besar dosanya disisi Allah dan lebih dimurkai dibandingkan memberi ucapan selamat untuk orang yang meminum khamr dan membunuh jiwa. Serta terjerumus dalam perbuatan asusila yang diharamkan dan semisalnya. Banyak di antara orang yang kurang penghargaan terhadap agama, terjerumus terhadap hal itu. tidak tahu kejelekan apa yang dilakukannya. Barangsiapa yang memberi ucapan selamat kepada seorang hamba yang melakukan kemaksiatan, bid’ah dan kekufuran, maka dia terancam mendapatkan kemurkaan Allah. selesai ucapan beliau rahimahullah.

Sesungguhnya memberi ucapan selamat kepada orang kafir terhadap hari raya agama mereka itu diharamkan sebagaiman  dinyatakan oleh Ibnu Qayim. Karena itu berarti mengakui dan ridha dengan syiar kekufuran mereka, meskipun dia sendiri tidak rela dengan kekafiran itu. Seorang muslim diharamkan ridha dengan syiar kekufuran atau memberi ucapan selamat dengannya atau lainnya. Karena Allah Ta’ala tidak ridha akan hal itu sebagaimana dalam firman-Nya:

إن تكفروا فإن الله غني عنكم ولا يرضى لعباده الكفر وإن تشكروا يرضه لكم

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 7)

Dan Firman-Nya,



“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3)

Maka, memberikan ucapan selamat itu haram, baik mereka ikut serta dalam perayaan maupun tidak.

Kalau mereka memberikan ucapan selamat kepada kita dengan hari raya mereka, maka kita tidak memberikan jawaban akan hal itu, karena itu bukan hari raya kita. Dan karena itu hari raya yang Allah tidak rela denganya. Juga karena hal itu adalah perkara yang diada-adakan dalam agama mereka, atau disyariatkan akan tetapi dihapus dengan agama Islam yang Allah utus Muhammad sallallahu alaihi wa sallam kepada seluruh makhluk.

Allah berfirman,

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”  (QS. Ali Imran: 85)

Maka jawaban seorang muslim pada kesempatan semacam ini adalah haram. Hal ini bahkan lebih besar (dosanya) dibandingkan dengan mengucapkan selamat terhadap mereka di hari raya, karena hal itu termasuk ikut serta dengan mereka.

Begitu juga seorang muslim diharamkan menyerupai orang kafir dengan mengadakan perayaan seperti ini, atau saling memberi hadiah, membagikan kue, memasak makanan, libur kerja atau semisal itu. berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Iqtidha As-Syiratal Mustaqim Mukholafatul Ahlil Jahim’ mengtakan,

“Menyerupai mereka pada sebagian hari rayanya, melahirkan kegembiraan dalam hati terhadap kebatilan pada mereka. Kadang mereka memberi makanan untuk memanfaatkan  kesempatan dan  merendahkan orang-orang lemah.”

Barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia berdosa. Baik dia lakukan sekedar basa basi, pertemanan, malu sebab-sebab lain. Karena hal itu termasuk mudahanah (bermuka dua) dalam agama Allah, dan dapat menguatkan jiwa orang kafir serta rasa bangga kepada agama mereka.

Hanya Allah yang berkuasa memuliakan umat Islam terhadap agamanya, memberi kekuatan  untuk dapat konsisten, serta menolong kaum muslimin menghadapi musuh-musuhnya. Sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa. []

Sumber | republished by (YM) Yes Muslim !